Minggu, 05 Februari 2012

Maulid Nabi Muhammad S.A.W



Add caption
Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad wa’ala alihi sayyidina Muhammad... Bulan Rabi’ul ‘awwal telah datang. Orang-orang mulai melantunkan banyak sholawat secara berjama’ah di masjid-masjid, mushola, langgar, surau-surau, di tengah perkotaan, di tengah pelosok desa, di lapangan luas, di tengah jalan, bahkan didalam gang-gang sempit dan di seluruh pelosok dunia, semua orang membaca sholawat untuk mengenang dan memperingati kelahiran nabi dan manusia yang paling mulia didunia, kekasih ALLAH S.W.T. idola nomor satu umat Islam yaitu Baginda Nabi Sayyidina Muhammad S.AW.
 
Memperingati kelahiran nabi Muhammad S.A.W. disebut dengan Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab : مولد النبي, mawlid an-nabī). Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad.
 
Masyarakat muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi, tahlil, ratib, kitab maulid Barzanji, Syaraful ‘anam, Ad-Diba’i, Simtudduror, Addiya’ullami, dan pengajian ceramah yang berisikan hikmah maulid dan acara Mauludan juga dirayakan dengan perayaan dan permainan alat musik yang bernafaskan Islam seperti marawis, hadroh, bahkan di pulau jawa di meriahkan dengan permainan gamelan sekaten.
 
Sejarah Peringatan Maulid Nabi Muhammad S.A.W.
 
Dalam gegap gempitanya kemeriahan perayaan maulid nabi, banyak dari ummat muslim yang tidak mengetahui kapan pertama kalinya maulid nabi di selenggarakan diatas muka bumi ini. Berikut adalah sejarah singkat perayaan Maulid Nabi Muhammad S.A.W. dilakukan untuk pertama kalinya.

Perayaan maulid Nabi Muhammad S.A.W. pertama kali dirintis oleh Shalahuddin al-Ayyubi, sultan Mesir dari Bani Ayyub yang memerintah pada 570-590 Hijriah atau 1174-1193 Masehi dengan daerah kekuasaan yang membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Ketika itu dunia Islam tengah terlibat dalam perang salib berhadapan dengan bangsa Eropa, terutama bangsa Perancis, Jerman, dan Inggris. Pada 1099, pasukan gabungan eropa berhasil merebut Yerusalem dengan mengubah Masjid Al-Aqsha menjadi gereja. Ketika itu dunia Islam seperti kehilangan semangat jihad dan ukhuwah, sebab secara politis terpecah belah dalam beberapa kerajaan dan kesultanan meskipun khalifahnya satu, yaitu Khalifah Bani Abbas di Baghdad, Iraq.

Melihat suasana lesu itu, Shalahuddin berusaha untuk membangkitkan semangat jihad kaum muslimin dengan menggelar Maulid Nabi pada 12 Rabiul Awwal. Menurutnya, semangat jihad itu harus dibangkitkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Rasulullah SAW. Namun gagasan itu sebenarnya bukan usulan dia, tetapi usulan dari saudara iparnya, Muzaffaruddin Gekburi, yaitu seorang atabeg (bupati) di Irbil, Suriah Utara.

Awalnya, gagasan Shalahuddin ditentang para ulama, sebab sejak zaman Nabi perayaan maulid itu tidak ada. Apalagi, di dalam agama islam hari raya resmi cuma ada dua yaitu, Hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Namun Shalahuddin menegaskan bahwa perayaan Maulid hanyalah semarak syiar Islam, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dikategorikan sebagai bid’ah. Kebetulan Khalifah An Nashir di Baghdad pun menyetujuinya.

Maka di tengah musim haji pada 579 Hijriah atau 1183 Masehi, Shalahuddin mengimbau seluruh jamaah haji agar setiap tahun merayakan maulid Nabi di kampung halaman masing-masing. Salah satu kegiatan yang dalam maulid yang pertama kali digelar oleh Shalahuddin pada 580 H/1184 M adalah sayembara menulis riwayat Nabi yang diikuti oleh sejumlah ulama dan sastrawan.

Setelah diseleksi, pemenang pertamanya adalah Syaikh Ja’far Al-Barzanji yang menulis riwayat Rasulullah S.A.W. dan keluhuran akhlaknya dalam bentuk syair yang panjang, yaitu Maulid Barzanji.

Ternyata, peringatan Maulid Nabi yang digagas oleh Shalahuddin al-Ayyubi mampu menggelorakan semangat jihad kaum muslim dalam menghadapi serangan agresi Barat dalam Perang salib. Shalahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga Yerusalem berhasil direbut pada 583 H atau 1187 M.

Perbedaan Pendapat
Pada zaman sekarang, kebanyakan muslim di Negara-negara Islam merayakan Maulid Nabi, diantaranya: Mesir, Syria, Lebanon, Yordania, Palestina, Iraq, Kuwait, Uni Emirat Arab (tidak secra resmi karena mereka menyambut secara sembunyi-sembunyi di rumah masing-masing), Sudan, Yaman, Libya, Tunisia, Algeria, Maroko, Mauritania, Djibouti, Somalia, Turki, Pakistan, India, Sri Lanka, Iran, Afghanistan, Azerbaidjan, Uzbekistan, Turkistan, Bosnia, Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan kebanyakan Negara islam yang lain. Di kebanyakan Negara Arab, Maulidurrasul S.A.W. merupakan hari cuti umum.

Tetapi Arab Saudi adalah satu-satunya negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang tidak menjadikan Maulid sebagai hari libur resmi. Karena mayoritas ulama dan  muslim disana berpaham Salafi dan Wahhabi yang tidak merayakannya karena menganggap perayaan Maulid Nabi merupakan sebuah bid'ah, yaitu kegiatan yang bukan merupakan ajaran Nabi Muhammad S.A.W. Mereka berpendapat bahwa kaum muslim yang merayakannya keliru dalam menafsirkannya sehingga keluar dari esensi kegiatannya. Namun demikian, terdapat pula ulama yang berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi bukanlah hal bid'ah, karena merupakan pengungkapan rasa cinta kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Perbedaan pandangan tentang hukum merayakan maulid Nabi Muhammad S.A.W, suka atau tidak suka, memang telah kita warisi dari zaman dulu. Para pendahulu kita sudah berbeda pendapat sejak masa yang panjang. Sehingga bukan masanya lagi buat kita untuk meninggalkan banyak kewajiban hanya lantaran masih saja meributkan peninggalan perbedaan pendapat di masa lalu.

Sementara di masa sekarang ini, sebagai umat Islam, kita justru sedang berada di depat mulut harimau sekaligus buaya. Kita sedang menjadi sasaran kebuasan binatang pemakan bangkai. Bukanlah waktu yang tepat bila kita saling bertarung dengan sesamasaudara kitasendiri, hanya lantaran masalah ini.

Sebaliknya, kita justru harus saling membela, menguatkan, membantu dan mengisi kekurangan masing-masing. Perbedaan pandangan sudah pasti ada dan tidak akan pernah ada habisnya. Kalau kita terjebak untuk terus bertikai, maka para pemangsa itu akan semakin gembira.

Oleh karena itu, mari dari hikmah maulid Nabi Muhammad S.A.W. dapat menjadi sarana pemersatu bagi umat Islam diseluruh dunia untuk bersama-sama, bahu-membahu, bergotong-royong, serta berkorban jiwa dan raga untuk menegakkan syari’at Islam di muka bumi ini.  Shollu ‘alaa Muhammad....



Jumat, 03 Februari 2012

Pendidikan Ideal

Sejak dahulu pendidikan yang ada di Indonesia khususnya pendidikan formal sudah muncul sejak zaman para wali-wali songo. Dimana sekolah formal pertama yang ada di Indonesia yaitu sekolah bernafaskan nuansa islam yang disebut pesantren, didirikan oleh sunan Giri yang berada didaerah Cirebon. Lalu setelah itu muncullah sekolah formal bernafaskan eropa dan modern yang ada sejak zaman belanda yang diperuntukkan untuk kalangan pribumi atas terlaksananya politik balas budi yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial atas dasar tujuan balas budi terhadap rakyat, tetapi diragukan kebenarannya. Hingga masuk kepada era orde lama hingga era demokrasi sekarang ini, dunia pendidikan tidak akan pernah terlepas dari fase kehidupan bangsa dan negara ini.

Sejak mendirikan Negara ini, para pendiri bangsa telah memikirkan tujuan dari terbentuknya negara ini. Salah satu tujan yang dapat kita nukil dari pembukaan undang-undang dasar 1945 yaitu, “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pendidikan seperti sifat sasarannya yaitu manusia, memiliki banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan dan mengikuti derap langkah perkembangan zaman yang selalu memunculkan tantangan baru, yang sebagiannya sering tidak dapat diramalkan sebelumnya. Sehingga sebagai konsekuensi logisnya, pendidikan selalu dihadapkan pada masalah-masalah baru.

Permasalahan yang dihadapi dalam dunia pendidikan itu demikian luas.Pertama karena sifat sasarannya yaitu manusia sebagai makhluk misteri. Kedua karena usaha pendidikan harus mengantisipasi ke hari depan yang tidak segenap seginya terjangkau oleh kemampuan daya ramal manusia.

Walaupun dunia pendidikan akan terus memiliki permasalahan yang kompleks dan terus berdatangan mengikuti derap langkah perkembangan zaman. Tetapi permasalahkan pendidikan yang ada di Indonesia terbilang unik dan mungkin tidak terjadi di Negara lain.  Karena ketika Negara – negara lain sudah memperdebatkan kualitas, pendidikan nasional kita masih saja terus bergelut dengan berbagai permasalahan mendasar dan klasik yang seharusnya sudah bisa dipunahkan memasuki umur bangsa ini yang sudah lebih dari setengah abad.

Permasalahan klasik yang tidak pernah berujung adalah tentang masalah efisiensi dalam dunia pendidikan. Jika permasalahan efisiensi pendidikan saja tidak pernah berujung, lalu bagaimana dengan permasalahan mutu pendidikan? Pertanyaan itu jika kita jawab mungkin akan memunculkan kegalauan, karena bagaimana kita akan membicarakan mutu pendidikan jika dalam penyelesaian sasaran mutu yang diinginkan tidak memiliki kebijakan yang jelas dalam kalangan birokrasi sehingga tidak ada hubungan yang harmonis antara kalangan birikrasi pendidikan dengan pelaksana pendidikan di lapangan.

Hal ini terjadi karena tidak jelasnya filosofi pendidikan. Menurut Prof.Dr.Winarno Surakhmad dikalangan birokrasi, dikalangan mereka yang seharusnya berfilosofi ketika merumuskan kebijakan, ketika merencanakan, ketika memutuskan, ketika membiayai, dan ketika mengelola, tidak banyak yang peduli untuk memberinya dasar filosofis. Akibatnya, dunia pendidikan bergantung pada penafsiran masing-masing, dan bermotivasi berbagai kepentingan. Dari sisi substansi, banyak kebijakan yang digulirkan tanpa dilandasi oleh dasar filosofi yang jelas. Padahal pendidikan tanpa dasar filosofi yang jelas bukan saja goyah tapi juga berbahaya.

Wajar saja apabila tidak ada kesinambungan kebijakan antar menteri pendidikan. Istilah ganti menteri, ganti kurikulum sangat tepat untuk menggambarkan bahwa tidak ada landasan yang jelas dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Lalu didalam permasalahan efisiensi pendidikan terbagi kedalam sub-sub permasalahan yang muncul yaitu mulai dari permasalahan klasik yaitu permasalahan tentang mahalnya biaya pendidikan hingga terbit masalah yang terupdate dan terbaru akhir-akhir ini, yaitu permasalahan tentang keprofesionalisan guru.

Didalam permasalahan mahalnya biaya pendidikan seharusnya hal ini tidak perlu terjadi. Karena didalam pasal 32 Amandemen UUD 1945 Ayat 1 menyatakan, Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan, dan ayat 2 menyatakan, Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Perintah UUD 1945 tersebut diperkuat melalui UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang disahkan 11 Juni 2003 Pasal 5 Ayat 1 UU Sisdiknas menyebutkan, Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu. Setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (pasal 6 ayat 1). Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberi layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 ayat 1). Serta pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 ayat 2).

Isi dari undang-undang yang termaktub diatas, dapat kita tafsirkan bahwa kewajiban negara terhadap warga dalam pendidikan adalah menyediakan pelayanan berkualitas sekaligus bebas biaya, terutama pada tingkat pendidikan dasar. Dan juga Negara bertanggung jawab untuk menyediakan anggaran untuk membiayai keperluan investasi maupun operasional institusi pendidikan, serta menanggung biaya personal seperti transportasi dan seragam bagi peserta didik dari kelompok miskin.

Dalam hal biaya personal mungkin kita dapat tersenyum manis dengan melihat apa yang telah di upayakan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta dengan mengadakan fasilitas bus sekolah. Tetapi didalam fasilitas ini masih terlampau banyak kelemahan yang ada, yaitu diantaranya hanya terdapat di ibu kota negara, sehingga cenderung tidak merata dan tidak menyelesaikan masalah pendidikan nasional. Contoh lain yang mungkin patut untuk diacungkan jempol didaerah DKI Jakarta adalah sudah tidak adanya biaya yang dibebankan kepada siswa dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Tetapi sangat disayangkan, bantuan operasional ini banyak diselewengkan. Memang para orang tua murid dari siswa tingkat ini tidak dibebankan dengan biaya perbulan, tetapi hal yang aneh muncul adalah dengan dibebankan untuk biaya sumbangan gedung. Dalam kata bahasanya memberi kesan sumbangan yang berarti pemberian uang secara sukarela. Tetapi kenyataan yang ada dilapangan, para orang tua murid dipaksakan untuk membayar uang sumbangan gedung tersebut yang seharusnya bersifat sukarela.

Sehingga muncul pertanyaan yang dalam benak kita. Dimana alokasi dana dari pemerintah untuk pemeliharan gedung sekolah? Dimana alokasi dana 20 persen yang telah diamanatkan oleh undang-undang untuk dunia pendidikan dinegeri ini? Bukankah didalam pasal 31 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa, Pemerintah wajib membiayai sepenuhnya penyelenggaraan pendidikan wajib belajar pendidikan dasar, mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi ?

Memang pemerintah telah mengklaim telah mengangggarkan 20 persen dana untuk alokasi pendidikan, namun hal ini sangatlah berbeda dengan rumusan yang telah dibuat oleh kementrian pendidikan nasional dan DPR. Menurut Iwan Prayitno (2007), angaran pendidikan merupakan anggaran fungsi pendidikan di luar anggaran untuk gaji pendidik dan pendidikan kedinasan. Sedangkan anggaran 20 persen yang di klaim pemerintah, didalamnya termasuk gaji pendidik dan pendidikan kedinasan. Tidak hanya dalam sektor anggaran, kewajiban pemerintah dalam bidang pendidikanpun mencakup yang lainnya.

Menurut Edi Suharto, paling tidak ada tiga kewajiban yang mesti dijalankan negara dalam sektor pendidikan.
  1. Sebagai penyedia utama lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah,akademi, dan universitas.
  2. Sebagai regulator atau pengatur penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan negeri, swasta, maupun lembaga-lembaga non-formal.
  3. Fasilitator dalam penyediaan infrastruktur pendidikan, termasuk didalamnya penyedia skema-skema beasiswa dan tunjangan-tunjangan pendidikan bagi siswa berprestasi dan atau tidak mampu.
Ketiga kewajiban ini harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Kita menyadari bahwa pemerintah memang selalu terus berusaha untuk memenuhi amanat undang-undang khusunya dalam bidang pendidikan, tetapi mereka juga harus bisa mendengarkan dan juga bekerjasama secara cooperatif kepada para praktisi dunia pendidikan dan harus berjalan bersama, bergandengan, dan berkesinambungan guna memiliki dasar dan tujuan yang sama sesuai dengan filosofi bangsa dan negara ini sebagaimana yang telah diamanatkan oleh para pendiri bangsa dan negara ini.